Tanggal 11-12 November 2017 kemarin, saya dan enam orang teman maen-maen ke kampung Suku Baduy yang terletak di Serang, Banten. Perjalanan dimulai dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkas Bitung selama ±2 jam menggunakan KRL (kereta rel listrik) dengan biaya Rp. 18.000,- per orang. Sesampainya disana kami dijemput oleh elf angkot yang udah janjian sebelumnya menuju ke Ciboleger. Perjalanan menuju ke Ciboleger memakan waktu ±2 jam dengan jalanan naik turun khas pegunungan.
Sesampainya di Ciboleger kami disambut oleh Kang Sanif, orang asli suku Baduy Dalam yang bakal nemenin kita sepanjang perjalanan, kami juga nanti bakal nginep semalem di rumahnya. Di Ciboleger kami menyempatkan buat makan siang dan sholat Dhuhur dan Ashar, baru kemudian mulai perjalanan menuju Baduy Dalam pada pukul 2 siang.
Perjalanan dari Ciboleger menuju Baduy Dalam normalnya memakan waktu 4 jam, nah tapi.. karena beberapa alasan, ditambah juga dengan gerimis yang udah turun semenjak kita belum jalan, bikin perjalanan memakan waktu lebih lama dari seharusnya. Jalur treking naik turun dengan tipe tanah merah yang asli licin banget kalo kena ujan. Tapi, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan sungai, gunung, ladang, dan perkampungan Baduy Luar yang cantik banget. Beberapa kali kami ngelewatin jembatan bambu yang instagramable banget buat kalian-kalian budak feeds instagram lol.
Selama perjalanan dari Ciboleger sampe perbatasan Baduy Dalam, kami masih boleh foto-foto, nah tapi ketika udah ngelewatin perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, kita udah nggak boleh lagi foto-foto. Baduy Dalam memiliki pantangan yang lebih ketat dibanding Baduy Luar, contohnya pake baju harus warna hitam/putih, nggak boleh pake bahan-bahan kimia (seperti shampoo, sabun, pasta gigi, dsb), dan nggak boleh naik alat transportasi. Ke Jakarta-pun mereka jalan! Kalo ditanya "Kenapa sih nggak boleh ini itu?", kebanyakan dari mereka bakal jawab "Nggak tau, udah disuruh ya harus dilakuin". Oh iya satu lagi, di Baduy Dalam masih menerapkan konsep "perjodohan", dan yang dijodohin nggak boleh nolak. Jadi.. yang jomblo-jomblo, kalian pasti menemukan jodoh di Baduy Dalam hahaha!
Hujan gerimis yang nggak berhenti ini asli bikin susah. Jalanan jadi licin banget, belum lagi kalo terperosok di lumpur, lumpur nempel di sepatu, kepleset, jatuh duduk, dsb. Kami sampai di perkampungan Baduy Dalam saat udah gelap, kira-kira jam 7 malam. Sampai rumah, kami disambut oleh Teh Era, yang merupakan istri dari Kang Sanif, guide kita. Teh Era langsung cekatan masak nasi, sembari nunggu kami bersih diri di sungai yang ada di belakang rumah yang kami tinggali. Nggak ada kamar mandi ya disini, segala jenis kegiatan "pribadi" dilakuin di sungai, so brace yourself! Makanan kami malam itu hore banget! Nasi putih, tumis kangkung, tempe, telur, dan sambel, yang semuanya diracik dengan resep asli suku Baduy. So sad Mas Didi and Mas Nazmi couldn't join us that night.
Makan malam terasa hangat. Keluarga Kang Sanif menerima kami dengan sangat baik. Kami bercengkrama hingga waktu menunjukkan pulul 10 malam dan kami memutuskan untuk tidur. Udara disini tidak sedingin yang kami bayangkan, mungkin efek karena saat ini sedang musim hujan (?) Entahlah.. yang pasti Mas Acul dan Mas Rozaq baik-baik aja tidur hanya menggunakan sarung, tanpa sleeping bag.
Mentari pagi pada akhirnya maksa kami buat bangun dari tidur yang asli nyenyak banget karena kecapean. Dengan sedikit meraba-raba, saya menuju sungai untuk mengambil air wudhu, dan disitulah saya baru menyadari bahwa tempat ini cantik sekali. Kemarin belum ketauan cantiknya since udah gelap dan saya ngurusi diri sendiri aja udah capek, mana sempet liat-liat pemandangan. Rumah-rumah panggung terbuat dari kayu, jalanan yang disusun dari batu-batu sungai, udara yang bersih, anak kecil yang lari-lari, warga yang bercengkrama di pelataran rumah. Ah, aku jatuh cinta dengan tempat ini.
Kami sempat ngaso di depan rumah sambil ngobrol sama warga sebelum bantu Teh Era goreng sosis, baso, dan telur sebagai lauk buat makan nasi goreng. Selepas sarapan, kami keliling kampung, liat rumah kepala suku dari belakang (karena nggak boleh liat dari depan), godain anak-anak Baduy, sampe akhirnya main di sungai. Tepat pukul 9 pagi kami mulai jalan, meninggalkan kampung Suku Baduy Dalam dan kembali melanjutkan aktivitas di Ibu Kota. Despite all the unpredictable things that happened in this trip, I'm feeling beyond grateful. Thanks to Niken, Mas Didi, Mas Acul, Mba Galuh, Mas Rozaq and Mas Nazmi. You guys teach me a lot about how to handle situations. It's all worth the view and experience. Sehat-sehat ya semua.