Working Mom?

Tulisan ini terinspirasi oleh kegelisahan beberapa teman kantor yang berprofesi double, yaitu sebagai ibu dan karyawan perusahaan. Kegelisahan itu tidak jauh dari anak-anaknya yang mulai mengerti dan mulai bisa protes ketika Ibunya berangkat bekerja. Ketika mereka mencoba menjelaskan pada anaknya bahwa Ibu bekerja untuk mencari uang, dan uang untuk membeli mainan, anaknya menjawab,

“Aku nggak mau mainan aku mau Ibu di rumah aja”, katanya.

Mendengar jawaban anaknya, teman kantorku merasa sedih dan serba salah, macam Raisa.
I don’t know how it feels being a working mom, because I haven’t even married yet (hahaha!) But hey, let me tell you a story about a kid who raised by a working mom.

Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara, dimana jarak umurku dengan kakak pertama beda agak jauh (±7 tahun), sedangkan dengan adek-adekku cukup dekat, cuma 2 tahun. Jadi saat aku TK-SD, kakak pertama udah SMA dan udah punya dunia sendiri dengan teman-temannya. Jadilah saat-saat itu aku nggak gitu deket sama dia, simply karena dunianya beda.

Ibu bekerja dari pukul 7 pagi – 4 sore setiap hari Senin-Sabtu (sampai aku kelas 1 SMA, setelah itu Senin-Jumat). Dengan kondisi demikian, praktis aku dipaksa mandiri oleh keadaan. Kalo dulu waktu TK semua temen-temen pada ditungguin Ibunya, boro-boro aku cuma dianter sekolah waktu hari pertama aja, setelah itu yaudah berangkat dan pulang sendiri. Yang paling sedih sih kalo udah ada acara macem karnaval, dan tetep ujung-ujungnya jadi anak Ibu Guru karna Ibu nggak bisa nemenin (terimakasih Bu Umi!). Hal yang samapun juga kejadian di adek-adekku.

Keluargaku sendiri adalah keluarga yang biasa-biasa aja, nggak banyak duit tapi alhamdulillah kami nggak pernah ngerasain kelaperan karena gak bisa beli makan. Karena itu, dari kecil aku ngerti banget arti uang, gimana susahnya nyari uang, dan kita emang harus kerja kalo mau dapet uang.

Despite all the "sad" things macam Ibu nggak bisa ambil rapor, ngerasa kesepian karena pulang sekolah rumah kosong nggak ada orang, berangkat dan pulang sekolah sendiri, dsb, Ibu adalah salah satu orang terhebat dan bener-bener role model buat anak-anaknya. Walaupun Ibu kerja, Ibu nggak pernah alpa dengan kewajiban-kewajibannya sebagai ibu dan istri. Ibu selalu bangun jam 3 pagi, masak buat sarapan dan bekal makan siang. Setelah semua beres, Ibu siap-siap buat berangkat kerja, malah kadang Ibu sendiri yang lupa buat sarapan. Ketika pulang kerja, Ibu langsung nyiapin masak buat makan malam. Jadi meskipun Ibu kerja, tapi kami jarang banget beli makan di luar karna Ibu selalu nyempetin buat masak (dengan alasan hemat juga sih). Fyi, kami tidak pernah punya ART di rumah.

Lagian kalo dipikir-pikir, kalo Ibu nggak kerja, aku nggak yakin Mbak, Aku, dan Adek-adek bisa sampai ke titik ini. Lulus kuliah, dan nggak kurang apapun dalam hal pendidikan. Dan karna Ibu kerja, aku dan adek-adekku jadi deket banget. Secara saat ditinggal Ibu kerja, aku jadi yang paling tua di rumah. Kita jadi ngerasa  kalo we have each others back. Pulang sekolah bareng, aku yang nyuruh mereka makan, jadi yang ngomel kalo mereka tidur terus lupa sholat, yang ambilin makan dan beliin obat waktu mereka sakit, dan yang ngomelin temennya kalo nge-bully adekku haha bakat preman itu sudah ada dari kecil.

Rada jengah juga sih kalo baca tulisan orang-orang yang nyinyir terkait keputusan Ibu yang bekerja di luar rumah,

"Wanita itu bekerja karena apa sih? Uang tambahan? Gengsi pendidikan? Atau karena nggak betah di rumah? Kok rela menukar kebahagiaan anak hanya dengan gaji yang nggak seberapa."

Menurutku nggak wise ya judging orang lain tanpa tau latar belakang atau alasan dia melakukan hal itu. Sapa tau kalo si Ibu nggak kerja, anaknya gak bisa makan, atau anaknya nggak bisa sekolah. Dan lagi, nggak semua Ibu yang kerja di luar anaknya jadi nggak keurus dan nggak bahagia. Semua soal balancing. Dan semua itu butuh dukungan dari suami dan keluarga. Ayahku sangat suportif dengan kegiatan Ibu, dan juga anak-anaknya mau nggak mau harus ikut terlibat. Dari kecil, Mbak, Aku dan Adek udah punya tugas rutin di rumah (selain belajar), ada yang beresin rumah, cuci piring, sampe cuci kaos kaki.

Tujuan tulisanku ini sebenernya buat ngasih pandangan ajasih, bahwa nggak selamanya Ibu yang bekerja itu negatif, dan nggak selamanya anak-anak yang ditinggal Ibunya kerja jadi anak yang nggak bahagia. Tapi balik lagi, pilihan bekerja atau di rumah kembali ke pribadi setiap orang, dan juga harus disesuaikan dengan urgensitasnya. Kalo si suami udah bisa memenuhi semua kebutuhan keluarganya dengan baik, mungkin baiknya Ibu di rumah aja ya, main-main sama anak hehe.

Semoga Ibu dan Ayah sehat selalu