Tanggal 17 Agustus 2018 kemarin, saya dan tiga orang teman yang lain berkesempatan untuk hiking di Gunung Papandayan. Dengan alasan teman saya yang mengajak ini akan menikah tahun depan, pada akhirnya memaksa kami untuk menuruti keinginannya mendaki gunung satu ini. Boong ding, emang dasaran anaknya suka main dan nggak bakal sia-siain kesempatan kalo ada yang ngajak hiking hehe.
Setelah upacara 17 Agustus di kantor, kami bersiap menuju basecamp pendakian Gunung Papandayan dengan menggunakan mobil pribadi. Perjalanan Cibubur-Garut yang diestimasikan akan ditempuh dalam waktu sembilan jam karena sedang long weekend, ternyata jauh lebih cepat dari perkiraan. Kami sampai di gerbang pendakian Gunung Papandayan pada pukul 11 malam. Mendaki malam hari di Gunung Papandayan tidak disarankan ya teman-teman, kecuali sudah khatam jalur trekingnya. Karena Gunung Papandayan masih aktif dan mengeluarkan kawah belerang yang baunya lumayan menyengat, meskipun nggak se-menyengat belerang di Kawah Ijen.
Biaya untuk memasuki kawasan Gunung Papandayan adalah sebesar Rp. 30.000,-. Jika ingin camping, harus menambah biaya sebesar Rp. 35.000,- per malamnya. Biaya yang cukup mahal jika dibandingkan dengan biaya SIMAKSI gunung-gunung lainnya. But believe me, it all worth it. Semenjak pengelolaan Gunung Papandayan dipegang oleh pihak swasta, biayanya memang jauh lebih mahal, tapi hal itu sebanding dengan fasilitas yang disediakan. Di base camp pendakian terdapat gardu pandang, mushola, kamar mandi, dan banyak warung yang menjual kebutuhan pendakian. Dari mulai sarung tangan, tolak angin, hingga pembalut.
Sesuai rencana awal, kami melakukan pendakian pada pagi hari tanggal 18 Agustus 2018. Setelah sholat subuh, menikmati sunrise dari gardu pandang dan sarapan nasi goreng, bersiap-siaplah kami memulai pendakian. Pendakian dari base camp Gunung Papandayan sampai camping ground Pondok Salada dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 3-4 jam dengan berjalan santai. Jalur trekingnyapun beragam, dari mulai paving, tangga batu, kapur putih, hingga tanah padat. Sangat disarankan untuk memakai masker jika mendaki saat musim kemarau, karena selain debu halus bisa bikin wajah kusam dan mata kelilipan, panas banget shay.
Terdapat dua pilihan tempat camping di Gunung Papandayan, yaitu Pondok Salada dan Gubber Hood. Setelah mengunjungi keduanya, aku personally lebih suka camp di Pondok Salada. Fasilitas yang ada di Pondok Salada lebih lengkap. Ditambah dengan camping ground yang luas dan rindang, membuat Pondok Salada jadi pilihan yang tepat untuk mendirikan tenda. Jarak Pondok Salada dengan Hutan Mati dan Tegal Alun tidak terlalu jauh, sehingga memudahkan kita jika ingin kesana tanpa membawa carrier.
Jalur treking mungkin bukan tantangan buat pendaki di Gunung Papandayan, tapi ternyata suhu di gunung ini lumayan ekstrim, apalagi di puncak kemarau di bulan Agustus. Dari mang Asep kami tau bahwa beberapa hari belakangan sering terjadi hujan es, bahkan terbentuk salju tipis seperti di Dataran Tinggi Dieng. Makanya banyak bunga Edelweiss yang kering. Masih kata mamangnya, liat aja bintang. Kalo bintangnya banyak, hampir bisa dipastikan malam bakal dingin banget. Dan aku justru nunggu itu karna mau sok-sokan motret milkyway. Beku iya, dapet foto kaga lol.
Sebenernya ada dua jalur yang bisa dipilih dalam mendaki Gunung Papandayan. Jalur landai dan jalur terjal. Tim saya kemarin mencoba keduanya. Dari base camp menuju Pondok Saladah (berangkat) kami memilih jalur landai, sedangkan dari Pondok Saladah ke base camp (pulang) kami memilih jalur terjal.
Setelah upacara 17 Agustus di kantor, kami bersiap menuju basecamp pendakian Gunung Papandayan dengan menggunakan mobil pribadi. Perjalanan Cibubur-Garut yang diestimasikan akan ditempuh dalam waktu sembilan jam karena sedang long weekend, ternyata jauh lebih cepat dari perkiraan. Kami sampai di gerbang pendakian Gunung Papandayan pada pukul 11 malam. Mendaki malam hari di Gunung Papandayan tidak disarankan ya teman-teman, kecuali sudah khatam jalur trekingnya. Karena Gunung Papandayan masih aktif dan mengeluarkan kawah belerang yang baunya lumayan menyengat, meskipun nggak se-menyengat belerang di Kawah Ijen.
Biaya untuk memasuki kawasan Gunung Papandayan adalah sebesar Rp. 30.000,-. Jika ingin camping, harus menambah biaya sebesar Rp. 35.000,- per malamnya. Biaya yang cukup mahal jika dibandingkan dengan biaya SIMAKSI gunung-gunung lainnya. But believe me, it all worth it. Semenjak pengelolaan Gunung Papandayan dipegang oleh pihak swasta, biayanya memang jauh lebih mahal, tapi hal itu sebanding dengan fasilitas yang disediakan. Di base camp pendakian terdapat gardu pandang, mushola, kamar mandi, dan banyak warung yang menjual kebutuhan pendakian. Dari mulai sarung tangan, tolak angin, hingga pembalut.
Sesuai rencana awal, kami melakukan pendakian pada pagi hari tanggal 18 Agustus 2018. Setelah sholat subuh, menikmati sunrise dari gardu pandang dan sarapan nasi goreng, bersiap-siaplah kami memulai pendakian. Pendakian dari base camp Gunung Papandayan sampai camping ground Pondok Salada dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 3-4 jam dengan berjalan santai. Jalur trekingnyapun beragam, dari mulai paving, tangga batu, kapur putih, hingga tanah padat. Sangat disarankan untuk memakai masker jika mendaki saat musim kemarau, karena selain debu halus bisa bikin wajah kusam dan mata kelilipan, panas banget shay.
Jalur treking mungkin bukan tantangan buat pendaki di Gunung Papandayan, tapi ternyata suhu di gunung ini lumayan ekstrim, apalagi di puncak kemarau di bulan Agustus. Dari mang Asep kami tau bahwa beberapa hari belakangan sering terjadi hujan es, bahkan terbentuk salju tipis seperti di Dataran Tinggi Dieng. Makanya banyak bunga Edelweiss yang kering. Masih kata mamangnya, liat aja bintang. Kalo bintangnya banyak, hampir bisa dipastikan malam bakal dingin banget. Dan aku justru nunggu itu karna mau sok-sokan motret milkyway. Beku iya, dapet foto kaga lol.
Read more about this trip: